Thursday, August 29, 2013

Random

Hi everyone! It's been so long since my last post. Well, I never have the chance to say... Happy Eid-al Fitr 1434 H to you who celebrate. May Allah gives us the power to forgive and forget. Aamiin. :)

Yang kemarin-kemarin sempat baca blogku, pasti udah tau kalau aku ikutan #CeritaDariKamar-nya mas Bara. Namun sayang sekali pemirsah, aku hanya mampu beristiqomah selama tujuh hari saja, padahal dari awal sudah diniati mau diselesein sebulan penuh. Tapi apa daya, beberapa hari belakangan ini ada beberapa hal yang menyibukkanku sehingga nggak sempat buka laptop, apalagi buat nulis blog. Hari ini baru bisa buka blogger namun aku sudah ketinggalan jauh berpuluh-puluh hari dan aku nggak sanggup mengejar ketertinggalannya. Maka, dengan sangat menyesal, kunyatakan; aku berhenti dari proyek #CeritaDariKamar. :(

Oke, terlepas dari proyeknya mas Bara, ada sesuatu yang pengen aku tulis di postingan kali ini. Berawal dari ngomel-ngomel nggak jelas beberapa hari lalu.

Wednesday, August 7, 2013

#CeritaDariKamar Day 7: Kertas Storyboard

Rabu, 7 Agustus 2013.

Sebagai seorang mahasiswi jurusan Multimedia Broadcasting, aku tidak pernah jauh dari hal-hal semacam menggambar, juga dengan kertas dan alat tulis lainnya. Kertas-kertas kumpulan tugas selama aku kuliah di dua semester awal memang tidak pernah aku biarkan begitu saja, apalagi kubuang. Kertas tugas, bahkan kertas soal UTS dan UAS pun masih kusimpan pada satu map khusus.

Di semester dua ini, dosen tiap mata kuliah seperti memberi satu tugas --yang mungkin lebih pantas disebut proyek-- besar yang mengharuskan mahasiswanya membentuk kelompok. Tak terkecuali dengan mata kuliah Storyboard and Storytelling. Bu dosen memberi kami satu proyek akhir; membuat storyboard dan skenario dari satu cerita tiga babak yang telah diseleksi. Sebelumnya, kami ditugaskan untuk membuat sebuah cerita tiga babak, kemudian mengajukan asistensi dan dipilih satu yang paling mendekati struktur cerita tiga babak itu sendiri. Setelah terpilih sebuah cerita, kami pun membentuk kelompok beranggotakan 4-5 orang untuk kemudian membuat susunan shot list beserta skenario, juga storyboard-nya.

Kebetulan, kelompokku beranggotakan empat orang. Untuk dapat membuat storyboard, kami memerlukan susunan shot list juga script atau skenario yang berisi dialog. Setelah menyelesaikan shot list dan skenario, tibalah saatnya untuk membuat gambaran dari shot list tersebut.

Awalnya, shot list yang dibuat ada enam puluh lima buah. Karena aku kebagian menggambar storyboard urutan nomor 34 hingga 65, maka dengan seijin teman-teman sekelompokku, kurevisilah ia. Selain meringankan tugas (tentunya, hehe), revisi yang kulakukan juga sekaligus demi keefektifan cerita. Maka jadilah shot list final berisi enam puluh buah.

Dalam dua malam, dua puluh tujuh buah storyboard berhasil kuselesaikan. Lalu setelah proses menggambar yang cukup menyenangkan namun melelahkan, aku harus meng-scan gambar-gambar itu dan mengirimkannya pada temanku yang masih berada di Surabaya (waktu itu aku di luar Surabaya) untuk menggabungkannya menjadi satu dengan storyboard sebelumnya dan dikumpulkan.

Mengerjakan sebuah proyek akhir tidak pernah tidak melelahkan. Namun jika kita melakukannya dengan ikhlas, maka rasa lelah itu akan terbayar dengan kepuasan yang kita dapat saat semuanya selesai dengan baik.


*ikutan proyek Cerita Dari Dalam Kamar (#CeritaDariKamar) yang digawangi Bernard Batubara*





NB:
Selamat hari raya Idul Fitri 1434 H, kawan-kawan semuanya. Maafkan segala kata dan perbuatan yang salah juga khilaf yang tentunya tak lepas dari kehidupan saya. Semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih baik di hari yang baik ini. Minal aidzin wal faidzin, maafkan lahir dan batin. :)

Tuesday, August 6, 2013

#CeritaDariKamar Day 6: Bantal Tazmania

Selasa, 6 Agustus 2013.

Bukan tanpa alasan seseorang memberiku bantal bergambar salah satu karakter Looney Tunes ini. Aku memang suka makhluk berwarna cokelat dengan gigi bertaring itu. Entah dari mana ia mengetahui hal ini, yang kuingat, aku tidak pernah bercerita bahwa aku menyukai Tazmanian Devil.

Bantal ini diberikan saat aku berulang tahun yang ke delapan belas kemarin, bersamaan dengan tas ransel yang disatukan dalam satu kotak kado yang cukup besar. Ia menyelipkan bantal ini di dalam tas ransel, sehingga aku tidak melihat adanya bantal Tazmania dalam kotak kado begitu aku membukanya. Namun saat kuperiksa isi ranselnya, aku menemukan kado lain yang cukup membuatku terheran sekaligus senang.

Aku jarang memakai bantal ini. Bukan karena aku tak menghargai pemberiannya, namun karena aku sudah memiliki tiga bantal lain dengan berbagai macam bentuk dan gambar karakter-karakter kartun. Tapi bantal ini masih kusimpan dengan baik. Beberapa hari lalu, aku mengambil bantal ini dari tempatnya, kemudian kupindahkan ke dalam mobil sebagai teman perjalanan ketika lelah.

Tak banyak yang dapat kuceritakan mengenai bantal ini. Selain belum banyak kenangan yang kulalui bersamanya, aku juga tak lagi ingin mengingat-ingat siapa yang membawa bantal ini padaku.


*ikutan proyek Cerita Dari Dalam Kamar (#CeritaDariKamar) yang digawangi Bernard Batubara*

Monday, August 5, 2013

#CeritaDariKamar Day 5: Surat Ucapan Terbaru

Senin, 5 Agustus 2013.

Setiap melihat empat lembar kertas yang kupajang di kamarku, aku teringat akan suatu momen. Dua lembar kertas dengan masing-masing satu kata, dan dua lembar lagi dengan bentuk surat ucapan.

Tiga belas Januari lalu, aku mendapat kejutan dari dua orang sahabat terbaikku, Ika dan Elita, kala aku masih dengan pulasnya tertidur. Tanpa membangunkanku, mereka menyanyikan sebuah lagu dengan lantang sambil membawa tulisan Happy Birthday di depan dadanya. Aku melepaskan pelukan guling, menyipitkan mata, kemudian perlahan mengubah posisi berbaringku. Mataku melek secara tiba-tiba dan kemudian tersenyum dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya.

Dari delapan belas tahun pergantian umurku, baru tahun ini aku diberi kejutan macam itu. Ya, hidupku tak seperti tayangan infotainment atau FTV yang menampilkan bentuk-bentuk kejutan ulang tahun. Hari itu aku benar-benar merasa spesial. Aku tak pernah mengharapkan, apalagi menyangka akan dikejutkan dengan cara yang menurutku indah.

Aku selalu suka menyimpan berbagai macam surat. Entah itu surat berisi kabar yang dikirimkan oleh sahabat pena di seberang sana, atau surat kuasa sekalipun, aku suka menyimpannya. Memandang sebuah surat layaknya memandang sebuah foto. Mereka tidak pernah gagal membawaku kembali pada sebuah masa yang memang tak akan terulang. Surat-surat dan foto-foto bercerita.

Dua surat ucapan dari sahabatku ini, membawaku kembali pada momen di mana mereka membuatku merasa spesial. Mereka memang selalu punya cara untuk membuatku merasa spesial, itulah mengapa aku sangat menyayangi mereka berdua.


*ikutan proyek Cerita Dari Dalam Kamar (#CeritaDariKamar) yang digawangi Bernard Batubara*

Sunday, August 4, 2013

#CeritaDariKamar Day 4: Kacamata

Minggu, 4 Agustus 2013.

Sejak satu bulan lalu, kacamata seolah menjadi teman setia ke manapun aku pergi. Aku memang belum terbiasa memakai kacamata minus, terlebih selama delapan belas tahun ini kedua mataku sehat-sehat saja. Namun semua berubah saat aku mulai merasakan efek blur, utamanya pada siang dan malam hari. Mama menyarankan agar aku memeriksakan mataku ketika aku berkesempatan mengunjungi sebuah rumah sakit.

Hari itu aku tidak pernah menyangka bahwa mataku ternyata sudah tidak sehat lagi. Dokter mata di rumah sakit menyatakan mata kanan dan kiriku minus. Beberapa pertanyaan sempat diajukan dokter, diantaranya adalah apa yang membuat mataku bermasalah. Aku menceritakan bagaimana kehidupan kuliahku selama hampir setahun. Sebagai mahasiswi teknik dan desain (aku berkuliah di kampus teknik dengan jurusan sarat desain), keseharianku tak lepas dari proyektor dan laptop. Tiada hari tanpa menatap layar laptop. Bagaimana tidak, tugas-tugasku mengharuskan mahasiswanya bercengkerama dengan benda elektronik satu itu.

Selain keakrabanku dengan laptop, hampir tiap malam aku masih menyempatkan diri untuk membaca buku. Nah, di sinilah letak kesalahanku selanjutnya. Aku selalu membaca buku dengan keadaan berbaring dan mendekatkan buku dengan jarak kurang dari dua puluh sentimeter dari mata. Teman satu kosku, Ayu, sudah sering mengingatkan agar aku tak melakukannya, namun aku bandel.

Setelah kuceritakan hal-hal tadi, dokter mengangguk paham. Tak berapa lama, beliau memberikanku dua lembar kertas yang entah apa isinya (kau tahu, tulisan dokter sulit dipahami) kemudian menyuruhku untuk segera ke optik. Ucapkan halo pada mata empat.

Di optik, mama menyuruhku memilih beberapa bentuk dan model kacamata yang aku sukai. Ada beberapa, namun kurasa kurang pas untuk dipakai sehari-hari. Akhirnya aku memilih satu kacamata dengan gagang berwarna kuning, walau kuning bukanlah warna favoritku. Namun pada akhirnya, kacamata ini lebih sering kutinggalkan dalam tas. Hanya terpakai saat aku harus menyetir motor sendirian, menulis dan membaca, atau ketika aku menghadapi proyektor pun laptop.


*ikutan proyek Cerita Dari Dalam Kamar (#CeritaDariKamar) yang digawangi Bernard Batubara*

Saturday, August 3, 2013

#CeritaDariKamar Day 3: Sebuah Buku Lama

Sabtu, 3 Agustus 2013.

Siang tadi aku sempat mengalami kebuntuan akan benda lain apa yang ingin kutuliskan ceritanya dalam lanjutan proyek ini. Mataku tertuju pada sebuah tumpukan buku-buku bacaan di salah satu sudut meja. Dari beberapa buku bacaan yang kupunya, aku memilih buku dengan judul Jadi Penulis Ngetop Itu Mudah karya Lie Charlie sebagai bintang utama cerita hari ini.

Buku ini tipis. Tebalnya hanya 124 + iv halaman saja. Aku bahkan lupa kapan aku membelinya. Lalu kubaca lagi ia, hingga aku temukan halaman terakhir --yang mana juga sebagai sampul belakangnya--. Ada satu tulisan yang kuyakini sebagai tulisanku di pojok kanan atasnya. Rizky Nindy Lestari 17/12/2005 14:06 WIB. Wah, rupanya sudah cukup lama aku membelinya. Delapan tahun silam, aku masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Aku sedikit terkejut dengan fakta bahwa aku sudah memiliki passion dalam bidang menulis sedini itu.

Aku mengingat kembali bagaimana aku bisa mendapatkan buku tipis nan berguna ini. Namun aku gagal. Ya, seperti yang sudah kutulis kemarin, ingatanku seperti ikan mas koki. Di tengah usaha kerasku mengingat-ingat, papa memasuki kamar. Melihatku memegang buku itu, beliau berkata, "Kamu ini punya bakat nulis dari kecil. Mungkin turunan dari papa." Aku menoleh. Masih terdiam. Lalu papa meninggalkan kamarku. Sekarang aku ingat, bagaimana perjalanan buku ini dari toko buku hingga sampai ke tanganku.

Papa suka sekali mengajakku ke toko buku, begitu pun sebaliknya. Waktu itu, papa mengajakku ke Gramedia Basuki Rahmat Surabaya, yang kini menjadi Gramedia Expo. Di sana, aku berkeliling hingga akhirnya menemukan satu judul buku yang menarik. Jadi Penulis Ngetop Itu Mudah: Trik-trik Menulis Handal. Dengan ilustrasi yang lucu bagi gadis seumuranku (waktu itu aku berumur sepuluh tahun), aku lantas mengambilnya, kemudian menunjukkan pada papa. Papa bilang, "Beli aja." Dan, terbelilah buku itu yang masih kusimpan hingga sekarang.

Isi buku ini tidak berat, cocok dibaca penulis muda dan pemula seperti aku di umur sepuluh tahun dulu. Semenjak membacanya, hasrat menulisku semakin membara. Selepasku lulus SD, kuhabiskan tiga tahun masa SMPku dengan menulis banyak sekali cerpen-cerpen maupun (calon) novel. Membaca tulisan-tulisanku dulu membuatku malu, karena di usiaku yang delapan belas tahun dan wawasan yang bertambah ini, aku sudah tidak seproduktif dulu.

Semoga saja pertemuanku kembali dengan buku ini dapat menyalakan api semangatku yang sempat padam beberapa tahun belakangan.


*ikutan proyek Cerita Dari Dalam Kamar (#CeritaDariKamar) yang digawangi   Bernard Batubara*

Friday, August 2, 2013

#CeritaDariKamar Day 2: Album Foto

Jum'at, 2 Agustus 2013.

Terselip sebuah buku yang tebalnya sedang namun memiliki kelebaran yang lebih besar di antara tumpukan buku di meja kamarku. Sampulnya ialah foto yang sudah diedit dengan logo sebuah perusahaan percetakan foto ternama. Ah, rupanya sebuah album foto lawas. Sedikit berdebu, namun kondisinya masih sangat bagus.

Kuseka debu yang menempel dengan telapak tangan kanan, lalu mulai membuka dan memandangi halaman pertamanya. Ada dua buah foto di sana. Satu fotoku sedang menggendong adik di teras rumah, satu lagi foto adik sedang duduk di sebuah halaman taman bermain. Aku tersenyum mengingat momen yang terjadi kira-kira sebelas tahun silam itu. Semakin aku membuka halaman album foto ini, semakin jauh aku terbawa memori yang hampir tak kuingat lagi.

Dan, oh, di satu foto, tergambar aku sedang dalam gendongan mama dan ada papa di sebelahnya. Aku mengenakan gaun putih dan tampak raut wajah mama papa yang bahagia melihatku. Rupanya itu foto ketika aku merayakan ulang tahunku yang pertama. Aku bahkan sama sekali tidak mengingat momen itu. Aku terlalu dini untuk merekamnya dalam otakku dan ya, aku memang memiliki ingatan seperti ikan mas koki.

Album foto ini berisi banyak sekali kenangan-kenangan masa kecilku yang sungguh menggembirakan. Album ini juga menggambarkan senyuman mama dan papa ketika melihat putri kecilnya bermain dengan kue ulang tahun yang seharusnya dimakan. Pun menggambarkan bagaimana lucu dan menggemaskannya adik yang sekarang sudah tak lagi bisa kugendong. Rasanya ingin mengulang semua peristiwa itu, tapi mustahil.

Melihat keseluruhan isinya mengingatkanku akan rasa syukur. Rasa syukur karena Tuhan telah memberiku kedua orang tua yang menyayangiku dengan teramat bahkan sebelum aku menyadarinya. Karena Tuhan telah memberiku seorang saudara untuk menemani hari-hari bermainku sehingga aku tak akan merasa kesepian. Karena Tuhan mengizinkanku melihat kembali kenangan yang tak akan bisa terulang. Kapan pun.

Terkadang kita sering melupakan momen penting (atau bahkan tidak penting) dalam hidup kita yang di kemudian hari menyadarkan kita akan rasa syukur terhadap apa yang telah diberi olehNya. Tapi sebuah foto dapat merekam bahkan membawa kita kembali pada momen itu. Dari sini, aku berterimakasih pada album foto pemberian mama yang telah menyimpan banyak kenangan yang kini tak akan kulupa.

Kita memang tidak bisa kembali pada satu momen, namun kita bisa mengingat kembali momen itu. Foto berbicara.


*ikutan proyek Cerita Dari Dalam Kamar (#CeritaDariKamar) yang digawangi Bernard Batubara*

Thursday, August 1, 2013

#CeritaDariKamar Day 1: Gitar

Kamis, 1 Agustus 2013.

Ada satu benda yang sangat kusukai, namun jarang kusentuh. Yap. Gitar lama yang berdiri di pojok kamarku. Pertama kali bisa main gitar waktu kelas 3 SMP. Saat itu aku iseng memetik senar demi senar dari gitar seorang teman yang membawanya ke sekolah. Ketika itu aku sedang buta nada, apalagi kort gitar. Aku hanya asal petik saja, hingga terdengar suatu genjrengan yang kurang merdu didengar.

Sudah lama aku memimpikan kebisaan bermain alat musik, salah satunya gitar. Maka jadilah, aku pun mempelajari cara bermain gitar secara otodidak dan klasik; baca buku panduan.
Tak disangka, aku bisa memainkan beberapa lagu sederhana dari hasilku belajar (tentunya dengan meminjam gitar kawanku karena aku belum punya). Beberapa hari kemudian aku melaporkan hasil belajarku pada mama dan papa seraya merajuk minta dibelikan gitar akustik.

Mama dan papa tak lantas percaya. Lalu aku meyakinkan mereka bahwa aku bisa. Hingga akhirnya, permintaanku dikabulkan. Terbelilah sebuah gitar akustik berwarna cokelat yang sampai sekarang masih kumiliki.

Semasa sekolah dulu, aku sering memainkan gitarku. Mencoba lagu-lagu baru walau aku tak bisa semahir para gitaris. Membuat video cover, walau sering berakhir kacau karena aku lupa kort di tengah jalan. Hingga menemaniku di kala sepi membunuh.

Namun semuanya berubah ketika aku mulai mengarungi kehidupan kuliahku.
Awalnya, aku memang membawa gitarku ke kota di mana aku melanjutkan studi. Tapi sejak sebuah kecelakaan menimpaku dan mengharuskanku untuk menggendong sebelah tangan untuk beberapa bulan, gitar itu dibawa pulang lagi oleh mama. Ya, memang tak mungkin bagiku untuk tetap memetik senar-senarnya dengan keadaan yang seperti itu.

Suatu waktu, aku pulang ke rumahku. Kota tempat di mana aku tinggal selama ini. Saat itu tangan kiriku sudah tak lagi dalam gendongan. Namun tak terpikir olehku untuk segera menyambangi alat musik favoritku yang diselimuti tas gitar berwarna hitam. Hingga suatu hari, seseorang membuatku rindu. Aku ingat, dia pernah berkata padaku, "Kalau kangen, gitaran aja." Ajaib sekali bagaimana satu kalimat dari orang yang kau sayang dapat memunculkan inisiatifmu. Maka, kukeluarkan gitar itu dari dalam tasnya.

Tebak apa yang kudapat.
Gitar itu rusak. Senarnya putus. Kayunya patah. Hatiku hancur melihatnya.
Maafkan aku yang sudah tak lagi menghiraukanmu.
Maafkan aku yang tak pernah merawatmu dengan baik.
Sungguh aku menyesal. Banyak lagu dan kenangan yang terekam dalam gitar ini yang tak akan pernah bisa digantikan gitar lain merk apapun.



*ikutan proyek Cerita Dari Dalam Kamar (#CeritaDariKamar) yang digawangi Bernard Batubara*