Sunday, March 10, 2013

Five Days Review

I'm back again in my lovely home, place where you can be yourself without any fear of being judged. I miss my blog so much, and I have stories to tell about what I've been trough during these five days of college.
Well, before I begin the stories, I want to post photos of me wearing my college outfit. So, I wore maxi skirt for months because of our (me and my classmates) consequences. I didn't used to wear maxi skirt, so I found difficulties in wearing it.



All clothes unbranded, Baby-G watch. Expectation: Mom's wedges. Reality: Fladeo flats.



And now, let the stories begin...

Jadi, minggu pertama masuk kuliah jadwalku nggak begitu padat. Yah beberapa dosen memang ada yang memilih untuk langsung memberikan praktikum dan teori, tapi sebagian lagi banyak yang memilih untuk santai dulu dan membiarkan mahasiswanya beradaptasi dengan perubahan aura liburan menuju rutinitas awal.

Pada suatu ketika, aku lupa hari apa, dosenku memutuskan untuk memulai hari dengan sekadar perkenalan singkat kemudian mahasiswa dibolehkan pulang. Nah, seperti biasa, aku mana mungkin semangat pulang kalau masih siang/sore, yang ada malah di kos cuman ngoplo, nggak tau mau ngapain. Awalnya sih aku ngajakin Ayu sama Yesi buat main entah kemana, tapi Ayu ternyata ada kumpul organisasi gitu. Jadilah cuman aku sama Yesi yang bimbang mau ngapain di jam segitu. Akhirnya kita putuskan buat duduk-duduk cantik di bangku depan parkiran lalu cerita-cerita.

Aku dan Yesi cerita ngalor ngidul tentang semua hal yang ingin kita ceritain karena selama liburan ini kita cuman ketemu beberapa kali doang dan cuman bisa cerita lewat chat BBM atau SMS. Nah, ada yang menarik dan mengganggu pikiranku dalam cerita kita waktu itu.

Memang, aku, Yesi, Ayu, dan beberapa teman agak sedikit terganggu dengan sikap teman-teman sekelas yang menurut kami nggak wajar untuk ukuran manusia yang punya perasaan.

Beberapa bulan lalu, aku kecelakaan. Kejadian yang kualami cukup serius, sehingga bikin aku dirawat inap di sebuah RS dekat kampus dan terpaksa dioperasi. Saat aku kecelakaan, aku memang nggak ingat betul siapa aja yang waktu itu njenguk, tapi masih jelas kuingat ada empat orang kawan dari jurusan yang berbeda dan BENAR-BENAR NGGAK KUKENALI SAMA SEKALI yang rela nyempatin waktunya buat ngelihat gimana kondisiku. Terharu? Pasti. Dari situ pula aku jadi sempat mikir, "Ternyata temen-temen satu angkatanku tuh solidaritasnya luar biasa ya... Bahkan aku yang nggak pernah kenal mereka aja sampai dijenguk gini..."
Memang, teman-teman dekatku di kampus banyak yang njenguk hampir setiap hari, seperti teman-teman satu kelompok gugus waktu OMB dulu, teman cewek di kelas dan kelas sebelah, juga Ika, sahabatku sejak SMP yang kuliah di kampus yang berbeda denganku. Waktu itu aku merasa banyak sekali yang peduli dengan keadaanku. Aku sangat bersyukur dan tentu saja sangat senang diperlakukan seperti itu.

Lalu, apa hubungannya dengan sikap teman-teman sekelas yang aku dan Yesi keluhkan saat kami cerita-cerita waktu itu?
Begini. Saat aku kecelakaan itu, memang nggak semua teman sekelas menjengukku. Bahkan Yesi aja nggak ikut njenguk karena dia juga lagi dalam kondisi yang nggak fit waktu itu. Dia pingsan dan muntah-muntah dan aku juga nggak memaksa siapapun buat datang njenguk aku. Aku memang nggak pernah mikirin berapa orang yang peduli, siapa aja yang datang, atau apa yang mereka pikirkan tentang aku. Aku nggak pernah mikirin hal-hal kecil yang menurut aku kurang penting. Bisa dibilang, aku nggak peka. Tapi, ke-nggak peka-an ku ini membawa beberapa manfaat, namun nggak jarang juga bikin aku kesel sendiri karena telat peka.

Nah, pas aku sama Yesi cerita-cerita di bangku depan parkiran, Yesi bilang, "Kamu tau Nin, pas kamu kecelakaan dulu loh, aku baru dateng kan. Pas jalan di parkiran aku udah nggak kuat mau naik ke lantai tiga, trus aku liat Ayu sama Fida lari-lari. Pas kutanya, 'Kalian mau kemana?' dijawab Fida mau ke rumah sakit karena kamu kecelakaan. Trus aku mau ikut kan waktu itu, tapi aku nggak kuat, aku bener-bener nggak fit. Akhirnya aku naik trus beberapa saat kemudian aku pingsan. Kamu tau, pas aku naik itu loh, bener-bener nggak ada satupun anak cowok kelas kita yang, ya seenggaknya basa-basi lah, sok peduli juga gapapa, nanyain atau berinisiatif buat jenguk kamu. Itu BLAS sama sekali nggak ada loh Nin! Mereka ya yang cuman diem aja, trus bersikap seakan-akan nggak ada yang terjadi. Dan pas aku sadar dari pingsan, kamu tau apa yang mereka lakuin? MEREKA KETAWA! Seolah-olah aku pingsan itu akting, main-main. Hey please, siapa juga yang mau pingsan? Mbok ya, yaudah kalau kalian nggak peduli ya nggak usah ketawa juga. Diem aja gitu loh. Trus besoknya pas aku masuk, mereka malah ngetawain sambil bilang, 'Wes a gak roboh maneh a? Hahahaha'. Yaampun sumpah ya, bener-bener keterlaluan!"

Speechless.

Sebenarnya mereka punya perasaan nggak sih?
Punya akal pikiran yang sehat nggak sih?
Bisa mikir yang bener nggak sih?
Bukan, aku ataupun Yesi bukan tipe wanita yang gila hormat. Tapi rasanya nggak etis dan nggak beretika kalau ada temanmu, nggak usah teman deh, orang yang nggak kamu kenal, yang lagi mengalami musibah dan kamu tau itu, tapi kamu cuma bersikap apatis dan nggak peduli bahkan sampai ngetawain kaya gitu.

Kamu mau nggak peduli? Oke. Silakan. Itu memang hak kalian. Tapi ngetawain? Duh. Lelaki macam apa kalian?
Aku baru tau kalau ternyata sikap para lelaki di kelasku seperti itu. Bisa disebut gentlemen? Rasanya tidak. Gentlemen don't laugh at something serious and know how to manner.
Padahal ya, kalau mau sombong-sombongan nih, aku tuh punya banyak temen yang lebih tau gimana bersikap, walaupun mereka bukan temen deket aku. Aku juga punya banyak temen yang bener-bener peduli sama keadaanku gimanapun bentuknya. Aku nggak butuh orang-orang nggak ngerti etika dalam pergaulan seperti kalian karena aku punya mereka yang lebih tau bagaimana menempatkan diri dalam lingkungan sosial. Ini kalau mau sombong-sombongan sama mereka yang sikapnya apatis tadi.

Kalau mau instropeksi diri, mungkin waktu itu memang pas awal-awal kuliah, masa di mana sepertinya antara aku dan teman-teman sekelasku belum saling mengenal satu sama lain. Maka mereka pun bersikap seolah aku bukan bagian dari kelas itu. Okey.
Tapi bisakah kalian instropeksi diri juga? Coba lihat, empat orang kawan dari jurusan lain yang jenguk aku waktu itu bener-bener bukan orang yang kukenal sebelumnya, belum pernah ketemu sebelumnya, belum pernah ngobrol sebelumnya. Tapi mereka malah berinisiatif buat peduli sama teman seangkatannya. Rasa solidaritas dan sense of belonging keempat lelaki perwakilan (dan teman-teman satu angkatan lainnya) ini begitu luar biasa besar. Namun kalian? Yang sudah beberapa waktu bertemu dan saling ngobrol, malah sama sekali nggak menunjukkan itu. Apa yang salah dengan kalian, hey?

Cukup dengan cerita kecelakaanku.
Masih ada cerita lagi.
Para lelaki di kelasku, kalau bertemu teman satu kelasnya, entah itu dalam lingkungan kampus atau di luar kampus, sikap yang mereka tunjukkan seolah nggak pernah kenal. Ya memang ada, sebutlah mereka Ade, Ragil, dan Riza, yang masih mau, setidaknya menyapa, teman sekelasnya kalau mereka dengan sengaja atau tidak bertemu. Yang lainnya? Diam. Melirik aja nggak, apalagi senyum. Padahal, kalau aku bertemu dengan teman-teman lelaki dari kelas sebelah, mereka selalu menyapa. Kadang juga basa-basi. Bagai bumi dan langit. Sangat jauh berbeda. Pun ketika aku dan teman-teman cewekku menemui kesulitan di tempat parkir. Walaupun di depan kami jelas terlihat ada teman lelaki sekelas yang harusnya bisa membantu mengeluarkan motor atau apapun kesulitan kami, namun nyatanya mereka diam saja. Malah mas-mas atau teman dari kelas sebelah yang dengan sigap membantu. Aku dan teman-teman wanita yang saat itu ada hanya bisa saling pandang sambil mengelus dada.

Mau perbandingan yang lebih ekstrim? Okey.
Kalau aku bertemu dengan lelaki jurusan lain yang seangkatan, rata-rata mereka pada menghormati kami, para wanita. Kalau kami berjalan di depan mereka dan mengucapkan, "Permisi..." mereka akan membalas dengan, "Monggo..." atau "Iya..." Nggak jarang juga mereka yang duluan menyapa, "Mari mbak" sambil tersenyum, walau aku tau beberapa dari mereka itu tau kalau kita seangkatan. Tapi itulah, mereka sangat menghormati wanita, yang mana JARANG sekali kutemui dalam kehidupan sehari-hari di kelasku.

Cerita ini belum selesai sampai disini. Tapi rasanya curang dan nggak adil bagi mereka kalau aku ceritakan segala yang kurasakan selama aku sekelas dengan mereka sampai detik ini. Hanya beberapa teman wanita dan beberapa teman pria yang tau detail cerita ini. Ketika kuceritakan ini pada seorang kakak kelas dari jurusan SPE, reaksi yang diberikan adalah, "Itu akibatnya kalau nggak ada OMB." yang kemudian kusanggah dengan, "Tapi teman-teman kelompok dan kelas sebelah nggak gitu kok, mas!" Dan ya, seperti reaksi mereka yang pernah kuceritakan cerita yang sama, mas itu cuman bilang, "Nggak usah dipeduliin deh kalau gitu."

Seandainya aku mau membanding-bandingkan teman lelaki di kelasku dengan teman-teman yang kumiliki lainnya, sungguh rasanya pasti kalian malu. Jadi aku nggak akan membanding-bandingkan lebih jauh lagi karena gambaran di atas sepertinya sudah cukup sebagai bahan perbandingan.

Sekali lagi kutekankan, aku dan teman-teman wanitaku bukan tipe yang gila hormat, yang pengen diperhatiin, yang cari sensasi atau apa. Hingga akhirnya aku bercerita di laman ini berarti kami ingin kalian tau, dan mari kita sama-sama saling instropeksi. Aku tau kok, beberapa, atau mungkin seluruh lelaki di kelasku memandang, utamanya aku dan Yesi, sebagai cewek yang menye-menye, yang manja, yang nggak mau susah atau apalah. Itu terserah kalian mau menganggap kami seperti apa. Kami nggak ambil pusing dengan judgement kalian. Kalian kenal kita baru berapa lama? Sementara teman-teman lelaki kami yang lain menganggap kami normal, bahkan sampai menaruh kasihan karena kami harus melewati tiga tahun bersama kalian.

Aku nggak yakin, dengan ditulisnya ini, kalian, para lelaki di kelasku, akan sadar dan nggak men-judge kami yang aneh-aneh. Yaa, semoga saja ada beberapa diantara kalian yang akhirnya menyadari dan instropeksi diri. Tapi kalau masih saja men-judge kami seperti itu, ya apa boleh buat. Apalagi yang bisa kami lakukan untuk merubah watak yang sulit dirubah? Kami hanya bisa pasrah dan berdoa semoga kami diberikan kelancaran dan etika dalam bergaul sehingga kami memiliki lebih banyak lagi teman yang tau bagaimana bersikap.




PS:
Aku sudah baca buku Normal is Boring karya Ira Lathief, buku Mari Berhitung Sisa Hidupmu karya Surianto Rustan, dan buku Berani Mengubah karya Pandji Pragiwaksono. Sepertinya kalian, dan para mahasiswa di kampusku, perlu membaca buku-buku yang kusebutkan tadi.

No comments:

Post a Comment

Thanks for stopping by. You seem nice. You are welcome to leave any comments here.